Sidat Kita |
Warnanya coklat berkilau kemerahan setelah dicelup ke dalam saus kecap manis dan dipanggang, apalagi jika disajikan bersama nasi, sudah pasti akan membuat lapar orang yang melihatnya.
Unadon jika menu ini disajikan bersama nasi atau Kabayaki merupakan makanan favorit dan terhormat di Jepang sejak abad ke-17 dan dimakan selama musim panas sampai sekarang, khususnya pada hari istimewa yang disebut "doyo-no ushi-no-hi".
Harganya di restoran Jepang pun termasuk yang termahal dibanding menu lainnya dengan mematok tarif 1.000 yen seporsi atau sekitar Rp90 ribu masakan ini dihidangkan pada pertemuan-pertemuan pebisnis besar atau tokoh-tokoh penting.
Makanan yang dikenal penuh gizi ini dimasak dari sejenis ikan berbentuk ular dengan sirip di punggung dan dada bernama unagi (Anguilla japonica).
Masyarakat Jepang, menurut peneliti kelautan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Iwan Eka Setiawan, merupakan konsumen ikan sidat terbesar dunia, dimana setiap tahunnya membutuhkan 150 ribu ton dari 250 ribu ton kebutuhan dunia.
"Padahal produksi negara sakura itu hanya 21 ribu ton per tahun. Sehingga sisanya dipasok dari China yang pada 2002 sudah menghasilkan 163 ribu ton per tahun, diikuti Taiwan yang memproduksi 34 ribu ton, Korea 2.500 ton, juga negara-negara Eropa seperti Belanda, Itali, Denmark dan Inggris yang total produksi dan konsumsinya sampai 10 ribu ton," katanya.
Meski populer dan digemari di sejumlah negara lain, ikan yang di Indonesia dinamai dengan ikan sidat tersebut ternyata belum banyak dikenal masyarakat di tanah air apalagi menjadi lauk sehari-hari.
Populasi Menurun
Dalam beberapa tahun terakhir, populasi sidat populer dunia seperti Anguilla Japonica, Anguilla anguilla dan Anguilla rostrata mulai menurun drastis karena konsumsi berlebihan, ditambah siklus hidup yang rumit menyebabkan stok benih budidaya ikan ini masih mengandalkan hasil tangkapan alam.
Ikan sidat (Anguilla sp) membutuhkan lokasi laut dalam untuk berpijah, setelah dari telur menjadi berbentuk larva, ia kemudian terbawa ke pantai menjadi glass eel dan menjadi elver yang mulai hidup di air payau, ia mulai tumbuh dewasa dan mencari air tawar sungai dan kembali lagi ke laut dalam untuk berpijah sekali sebelum mati.
Menurunnya produksi sidat membuat dunia mulai melirik ke spesies sidat tropik di Indonesia yang ternyata merupakan pusat sidat dan memiliki 12 spesies dari 18 spesies yang ada di dunia.
Akibatnya, ujar Iwan, banyak terjadi penyelundupan benih sidat Indonesia ke Jepang dan China, khususnya karena adanya SK Mentan no 214/Kpts/Um/V/1973 dan dikuatkan Permen Kelautan dan Perikanan no 18/Men/2009 yang melarang pengiriman benih sidat ke luar wilayah RI.
"Pasal dalam aturan itu hanya mengizinkan ekspor sidat dengan panjang 35cm dan atau berat sampai 100 gram per ekor atau berdiameter 2,5cm, dan dimaksudkan agar elver alam sebagai sumber benih budidaya sidat harus dipelihara dulu sampai ukuran tertentu untuk memberi nilai tambah kepada nelayan sebelum diekspor," katanya.
Hanya saja sangat disayangkan karena aturan yang sudah bagus itu tidak dibarengi dengan solusi teknis bagaimana melakukan pembesaran sidat, maka aturan itu sulit diaplikasikan dan membuka peluang ekspor ilegal benih sidat (elver) ke luar wilayah RI.
"Harga elver tentu saja tak sebanding dengan harga sidat dewasa, dimana 1kg elver yang isinya lebih dari 5.000 ekor hanya dihargai beberapa puluh ribu rupiah saja," katanya.
Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, menurut peneliti aquakultur dari (BPPT) Dedy Yaniharto, spesies sidat perlu diperkenalkan kepada masyarakat seperti komoditas ikan lainnya yang sudah lebih dulu populer dan mampu mendongkrak devisa seperti udang, ikan nila, hingga kerapu.
"Komoditas ini meski tak dikenal di dalam negeri tapi sangat besar potensinya untuk ekspor, sehingga budidayanya perlu mulai digalakkan untuk menambah penghasilan nelayan," kata Dedy.
Ikan sidat tropis Indonesia ditemui di sepanjang pantai selatan Jawa dan pantai barat Sumatra yakni Anguilla bicolor bicolor, sedangkan A interioris dan A obscura di perairan sebelah utara Papua, dan A marmorata yang tersebar luas di pesisir Sulawesi, Kalimantan hingga perairan Maluku.
"Salah satu lokasi yang dinilai cocok dijadikan kawasan budidaya ikan sidat, adalah kawasan laguna Segara Anakan, Kabupaten Cilacap dengan jenis unggulan Anguilla bicolor bicolor yang mirip dengan Anguilla Japonica, ikan sidat yang digemari di Jepang, dan rasanya lebih enak," tambah Iwan.
Proyek Percontohan
Untuk menggalakkan budidaya sidat di Indonesia, saat ini BPPT sedang membuat suatu proyek percontohan pembesaran benih sidat di Desa Panikel, Cilacap, ujar peneliti biologi reproduksi hewan BPPT Dr. Odilia Rovara.
Untuk keperluan ini, Odilia bahkan telah melakukan uji coba maskulinasi atau teknologi penjantanan dengan injeksi hormon ke elver sidat yang belum memiliki jenis kelamin berhubung pejantan sidat sangat sulit ditemui.
Pihaknya juga sudah melakukan uji coba pemeliharaan elver sidat (masih sebesar korek api seberat 5-25 gram) di bak-bak fiber hingga memeliharanya secara "outdoor" dengan komposisi pakan tertentu yang mengandung protein hingga 45 persen di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, sehingga menjadi sidat dewasa ukuran tertentu yang siap jual, ujarnya.
Sejak dua dekade lalu sampai saat ini di muara sungai Cimandiri, Pelabuhan Ratu, Sukabumi, masyarakat sudah biasa menangkapi "glass eel" atau elver dan sangat disayangkan jika akhirnya hanya dijual begitu saja ke penampung untuk diekspor ilegal, tambah Iwan lagi.
Sedangkan di Segara Anakan, Cilacap, nelayan setempat sulit mendapatkan glass eel dan elver karena sulitnya medan, namun biasa menangkap sidat dewasa berukuran 100-3.000 gram dengan menggunakan alat pancing dan bubu untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
"Sejauh ini kami masih menggunakan benih elver yang ada di alam untuk dibesarkan di kawasan percontohan ini, karena pembenihan sidat sangat sulit terkait kebutuhan telur sidat akan kondisi laut dalam. Bahkan di Jepang sekalipun pembenihan sidat belum dilakukan karena kesulitan ini," katanya.
Menurut Dedy, pembesaran elver sidat menjadi yellow eel dan silver eel lalu menjadi sidat dewasa untuk diekspor akan cukup menguntungkan bagi nelayan daripada dengan hanya menjual elvernya ke penampung.
Namun pemerintah, ujar Iwan, perlu turun tangan untuk membangunkan fasilitas pendederan dan pembesarannya, memberi peluang kredit untuk biaya operasionalnya serta melatih para nelayan, sehingga usaha budidaya ikan sidat bisa sukses seperti budidaya ikan populer lainnya.
"Apalagi pasarnya sudah jelas. Ini tentu akan menambah pendapatan nelayan dan meningkatkan devisa negara," kata Dedy.
Harganya di restoran Jepang pun termasuk yang termahal dibanding menu lainnya dengan mematok tarif 1.000 yen seporsi atau sekitar Rp90 ribu masakan ini dihidangkan pada pertemuan-pertemuan pebisnis besar atau tokoh-tokoh penting.
Makanan yang dikenal penuh gizi ini dimasak dari sejenis ikan berbentuk ular dengan sirip di punggung dan dada bernama unagi (Anguilla japonica).
Masyarakat Jepang, menurut peneliti kelautan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Iwan Eka Setiawan, merupakan konsumen ikan sidat terbesar dunia, dimana setiap tahunnya membutuhkan 150 ribu ton dari 250 ribu ton kebutuhan dunia.
"Padahal produksi negara sakura itu hanya 21 ribu ton per tahun. Sehingga sisanya dipasok dari China yang pada 2002 sudah menghasilkan 163 ribu ton per tahun, diikuti Taiwan yang memproduksi 34 ribu ton, Korea 2.500 ton, juga negara-negara Eropa seperti Belanda, Itali, Denmark dan Inggris yang total produksi dan konsumsinya sampai 10 ribu ton," katanya.
Meski populer dan digemari di sejumlah negara lain, ikan yang di Indonesia dinamai dengan ikan sidat tersebut ternyata belum banyak dikenal masyarakat di tanah air apalagi menjadi lauk sehari-hari.
Populasi Menurun
Dalam beberapa tahun terakhir, populasi sidat populer dunia seperti Anguilla Japonica, Anguilla anguilla dan Anguilla rostrata mulai menurun drastis karena konsumsi berlebihan, ditambah siklus hidup yang rumit menyebabkan stok benih budidaya ikan ini masih mengandalkan hasil tangkapan alam.
Ikan sidat (Anguilla sp) membutuhkan lokasi laut dalam untuk berpijah, setelah dari telur menjadi berbentuk larva, ia kemudian terbawa ke pantai menjadi glass eel dan menjadi elver yang mulai hidup di air payau, ia mulai tumbuh dewasa dan mencari air tawar sungai dan kembali lagi ke laut dalam untuk berpijah sekali sebelum mati.
Menurunnya produksi sidat membuat dunia mulai melirik ke spesies sidat tropik di Indonesia yang ternyata merupakan pusat sidat dan memiliki 12 spesies dari 18 spesies yang ada di dunia.
Akibatnya, ujar Iwan, banyak terjadi penyelundupan benih sidat Indonesia ke Jepang dan China, khususnya karena adanya SK Mentan no 214/Kpts/Um/V/1973 dan dikuatkan Permen Kelautan dan Perikanan no 18/Men/2009 yang melarang pengiriman benih sidat ke luar wilayah RI.
"Pasal dalam aturan itu hanya mengizinkan ekspor sidat dengan panjang 35cm dan atau berat sampai 100 gram per ekor atau berdiameter 2,5cm, dan dimaksudkan agar elver alam sebagai sumber benih budidaya sidat harus dipelihara dulu sampai ukuran tertentu untuk memberi nilai tambah kepada nelayan sebelum diekspor," katanya.
Hanya saja sangat disayangkan karena aturan yang sudah bagus itu tidak dibarengi dengan solusi teknis bagaimana melakukan pembesaran sidat, maka aturan itu sulit diaplikasikan dan membuka peluang ekspor ilegal benih sidat (elver) ke luar wilayah RI.
"Harga elver tentu saja tak sebanding dengan harga sidat dewasa, dimana 1kg elver yang isinya lebih dari 5.000 ekor hanya dihargai beberapa puluh ribu rupiah saja," katanya.
Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, menurut peneliti aquakultur dari (BPPT) Dedy Yaniharto, spesies sidat perlu diperkenalkan kepada masyarakat seperti komoditas ikan lainnya yang sudah lebih dulu populer dan mampu mendongkrak devisa seperti udang, ikan nila, hingga kerapu.
"Komoditas ini meski tak dikenal di dalam negeri tapi sangat besar potensinya untuk ekspor, sehingga budidayanya perlu mulai digalakkan untuk menambah penghasilan nelayan," kata Dedy.
Ikan sidat tropis Indonesia ditemui di sepanjang pantai selatan Jawa dan pantai barat Sumatra yakni Anguilla bicolor bicolor, sedangkan A interioris dan A obscura di perairan sebelah utara Papua, dan A marmorata yang tersebar luas di pesisir Sulawesi, Kalimantan hingga perairan Maluku.
"Salah satu lokasi yang dinilai cocok dijadikan kawasan budidaya ikan sidat, adalah kawasan laguna Segara Anakan, Kabupaten Cilacap dengan jenis unggulan Anguilla bicolor bicolor yang mirip dengan Anguilla Japonica, ikan sidat yang digemari di Jepang, dan rasanya lebih enak," tambah Iwan.
Proyek Percontohan
Untuk menggalakkan budidaya sidat di Indonesia, saat ini BPPT sedang membuat suatu proyek percontohan pembesaran benih sidat di Desa Panikel, Cilacap, ujar peneliti biologi reproduksi hewan BPPT Dr. Odilia Rovara.
Untuk keperluan ini, Odilia bahkan telah melakukan uji coba maskulinasi atau teknologi penjantanan dengan injeksi hormon ke elver sidat yang belum memiliki jenis kelamin berhubung pejantan sidat sangat sulit ditemui.
Pihaknya juga sudah melakukan uji coba pemeliharaan elver sidat (masih sebesar korek api seberat 5-25 gram) di bak-bak fiber hingga memeliharanya secara "outdoor" dengan komposisi pakan tertentu yang mengandung protein hingga 45 persen di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, sehingga menjadi sidat dewasa ukuran tertentu yang siap jual, ujarnya.
Sejak dua dekade lalu sampai saat ini di muara sungai Cimandiri, Pelabuhan Ratu, Sukabumi, masyarakat sudah biasa menangkapi "glass eel" atau elver dan sangat disayangkan jika akhirnya hanya dijual begitu saja ke penampung untuk diekspor ilegal, tambah Iwan lagi.
Sedangkan di Segara Anakan, Cilacap, nelayan setempat sulit mendapatkan glass eel dan elver karena sulitnya medan, namun biasa menangkap sidat dewasa berukuran 100-3.000 gram dengan menggunakan alat pancing dan bubu untuk memenuhi kebutuhan sendiri.
"Sejauh ini kami masih menggunakan benih elver yang ada di alam untuk dibesarkan di kawasan percontohan ini, karena pembenihan sidat sangat sulit terkait kebutuhan telur sidat akan kondisi laut dalam. Bahkan di Jepang sekalipun pembenihan sidat belum dilakukan karena kesulitan ini," katanya.
Menurut Dedy, pembesaran elver sidat menjadi yellow eel dan silver eel lalu menjadi sidat dewasa untuk diekspor akan cukup menguntungkan bagi nelayan daripada dengan hanya menjual elvernya ke penampung.
Namun pemerintah, ujar Iwan, perlu turun tangan untuk membangunkan fasilitas pendederan dan pembesarannya, memberi peluang kredit untuk biaya operasionalnya serta melatih para nelayan, sehingga usaha budidaya ikan sidat bisa sukses seperti budidaya ikan populer lainnya.
"Apalagi pasarnya sudah jelas. Ini tentu akan menambah pendapatan nelayan dan meningkatkan devisa negara," kata Dedy.
By. Sidat Kita
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar