Sidat Kita |
Musim paceklik masih melanda sebagian nelayan Pantai Selatan Teluk Palabuhanratu Kab. Sukabumi. Ini kontradiktif dengan momentum kemeriahan “Hari Nelayan”, tradisi yang senantiasa dilaksanakan oleh kaum marginal setiap tahun bertepatan dengan tanggal 6 April. Bagaimana pun situasi dan kondisi nelayan, pesta rakyat di pesisir pantai ini harus tetap terlaksana. Masalahnya, diantara serangkaian acara, selalu diselipkan sebuah upacara berbau magis yang cenderung mengedepankan unsur sakral melalui sebuah persembahan kepada sang penguasa Pantai Selatan.
Terlepas dari semua kepercayaan itu, bertepatan dengan pesta nelayan tahun ini ada sebuah pesta lain yang mewarnai kegiatan nelayan dan ini jarang terjadi, yaitu dengan hadirnya jutaan bahkan mungkin miliaran benur aneka jenis ikan yang oleh masyarakat setempat disebut “Impun”. Miliaran benur aneka jenis ikan yang baru menetas dan menyebar di sejumlah muara dan pesisir pantai memiliki makna tersendiri bagi para nelayan, petani bahkan komunitas warga lainnya.
Miliaran “impun” yang tersebar di sepanjang muara dan pesisir pantai selatan tersebut, diburu dan ditangkap dengan menggunakan jaring khusus yang halus. Inilah yang disebut “Nyalawean” atau para pemburu benur ikan menamakan kegiatan tersebut sebagai “ngala impun salawena” (menangkap impun hari kedua puluh lima ). Kalimat “salawe” berarti dua puluh lima dan pada hari kedua puluh lima pada bulan Maulud inilah biasanya miliaran impun itu mulai bertebaran di pesisir pantai.Acara memburu benur impun atau “Nyalawean” terus berlangsung selama satu pekan atau sepanjang masih ada impun yang bisa ditangkap.
Bahkan agar tidak kehilangan momentum datangnya gerombolan impun warga rela membuat tenda-tenda sederhana di pesisir pantai. Terutama di kawasan muara dan pemandangan ini akan menjadi sebuah tontonan tersendiri bagi pengunjung yang datang ke Pantai Selatan Palabuhanratu.Perburuan impun dilakukan dengan cara sederhana, tidak ubahnya melihat petani ikan yang tengah menangkap ikan dengan menggunakan jaring di kolam.
Bedanya, dalam “Nyalawean” lebih didominasi oleh kalangan ibu-ibu atau remaja putri. Biasanya, dengan tanda-tanda alam yang muncul dari permukaan air atau banyaknya burung pemangsa ikan berputar-putar di areal tertentu, para pemburu impun sudah hafal saatnya untuk turun ke pesisir dan memasang jaring impun. Ketika muncul gelombang dari laut ke arah darat, saatnya para pemburu impun beraksi mencelupkan jaringnya memecah ombak dan biasanya impun-impun yang berada diantara gulungan ombak tersebut menempel di jaring. Ini dilakukan berulangkali sampai akhirnya terkumpul impun cukup banyak.
Hasilnya, jika mau dijual banyak orang yang mau membeli dengan harga cukup mahal. Untuk… satu kilogram impun, biasanya dibeli dengan harga sampai Rp 50.000,00. Bahkan ada yang berani hingga Rp 100.000,00. Mahalnya harga impun selain karena sulit dan jarang ada, juga rasanya yang luar biasa. Kelezatan rasa impun menurut beberapa warga setempat melebihi jenis ikan atau makanan apa pun. Memasaknya pun tidak perlu menggunakan bumbu macam-macam. Hanya sedikit diberi garam kemudian dipanaskan, sudah selesai. “Tidak ada yang bisa mengalahkan rasa impun. Pokoknya dimasak dengan cara apa pun sangat enak.
Oleh sebab itu, banyak yang memburu impun walau pun harus mengeluarkan uang cukup banyak,” kata H. Nursobah, tokoh nelayan asal Cisolok Kab. Sukabumi.Mahalnya harga impun dan kelezatan rasanya inilah yang membuat “Nyalawean” mengundang ratusan ibu-ibu nelayan dan warga lainnya berebut mendapatkan impun. Ibu-ibu dan kalangan remaja rela meninggalkan kewajibannya di rumah untuk mendapatkan impun sebanyak-banyaknya. Terlebih saat ini ketika sebagian nelayan tengah menghadapi musim paceklik akibat cuaca yang tidak menguntungkan.
Memburu impnu atau “Nyalawean” bisa diandalkan untuk menutupi kebutuhan hidup keluarga. Sayangnya, tidak banyak pemburu impun yang bisa memperoleh impun melimpah. Rosmiatin (42), istri nelayan asal Kampung Bagbagan Palabuhanratu, mungkin orang yang paling beruntung dibanding pemburu impun lainnya. Menurut pengakuannya, selama hampir satu minggu memburu impun, tidak kuirang dari tujuh kilogram impun yang sudah ditangkapnya. Ini merupakan hasil yang luar biasa untuk ukuran mereka.
Semua hasil tangkapan Rosmiatin dijual dengan harga Rp 80.000,00/kg. “Lumayan untuk menutupi kebutuhan dan membayar utang ke warung,” katanya.Impun memang membawa berkah, ketika impun muncul, nelayan tak peduli lagi dengan kegiatan yang ada di sekelilingnya, demikian pula saat “Nyalawean” tahun ini yang bersamaan dengan pelaksanaan “pesta nelayan”.
Ibu-ibu nelayan, terlihat lebih antusias berada di pesisir pantai, berkemah sambil matanya terus menatap permuakaan laut dan sekitarnya untuk mengamati tanda-tanda kehadiran impun, ketimbang bergabung melaksanakan kegiatan seremonial dalam pesta nelayan. Paling jika ada atraksi hiburan, ada menunda sementara kegiatan memburu impun untuk kemudian kembali lagi ke lokasi perburuan. Selain itu, bagi kalangan remaja putri, kegiatan “nyalawean” bahkan bisa dijadikan ajang mencari jodoh. Ini bisa difahami karena selain banyaknya pemburu impun, banyak pula kaum pria yang menonton.
Pertemuan antara kedua jenis manusia yang berlawanan kelamin inilah yang memungkinkan terjadinya kontak. “Awalnya hanya ingin melihat pemandangan yang jarang dilihat. Yaitu kaum wanita yang berbasah-basah dan terkadang roknya tersingkap. Selanjutnya, saling berkenalan dan tidak jarang yang akhirnya sampai ke pelaminan,” kata Badri, pengurus Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Palabuhanratu.
“Nyalawean” memang diakui H. Nursobah sudah berjalan puluhan tahun, bahkan ketika H. Nursibah masih remaja hingga saat ini berusia diatas 60 tahun, kegiatan ini tetap ada dan menarik perhatian. Sayangnya. “nyalawean” tidak menjanjikan ada setiap tahun, setiap tanggal 25 bulan Maulud, terkadang dua atau tiga tahun tidak pernah muncul impun, baru tahun berikutnya impun banyak. “Kegiatan ini memang snagat menarik dan menguntungkan.
Setiap ada kegiatan ini saya selalu memesan impun sampai dua atau tiga kilo. Berapa pun harganya pasti saya beli,” kata Nursobah.“Nyalawean” memang tidak selalu ada setiap tahun. Ini bisa terjadi. Menurut Ir. H. Deden Sugandi, M.Si, mantan Kadis Perikanan Kab. Sukabumi yang saat ini menjadi pejabat di lingkungan Provinsi Banten, kehadiran impun sangat tergantung pada migrasi ikan. Biasanya pada waktu-waktu tertentu ada migrasi ribuan jenis ikan.
Pada umumnya, ikan-ikan tersebut satu arah dan satu tujuan karena semuanya membawa telur. Secara alami, ribuan bahkan jutaan ikan dari aneka jenis ikan tersebut memburu muara-muara sungai atau tempat-tempat yang memungkinkan untuk bertelur. “Biasanya muara-muara banyak pohon-pohon rindang dan suasana seperti itulah yang diinginkan oleh ikan-ikan laut yang akan bertelur. Karena proses alam pula, jutaan ikan dari aneka jenis ikan laut itu bertelur dalam waktu bersamaan dan menetas dalam waktu hampir bersamaan.
Bayi-bayi ikan inilah yang disebut sebagai impun,” kata Deden.Secara alami pula, bayi-bayi ikan tersebut berusaha untuk hidup di laut lepas. Kelompok impun keluar dari muara dan beradaptasi dengan air laut. Jika lolos dari predator, termasuk para pemburu impun, maka bayi-bayi ikan tersebut akan hidup sebagai ikan dewasa dengan berbagai jenis, tergantung pada induknya. Tapi hanya sebgian kecil saja yang bisa bertahan di derasnya kehidupan laut. Sebab, sebagian besar lainnya justru diburu oleh manusia. Perburuan itu kemudian disebut wraga nelayan sebagai kegiatan “Nyalawean”.
By. Sidat Kita
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar