Sidat Kita |
"Kami sudah membuat banyak publikasinya dalam jurnal ilmiah internasional. Sayang, di Indonesia tidak banyak yang tertarik." Banyak yang spontan terkekeh ketika Yulia mengungkapkan belum ada yang pernah bisa menyaksikan bagaimana sidat kawin dan memijahkan telurnya di laut. Seorang teman wartawan berceletuk, "Apa pentingnya menonton ikan kawin?" Tapi Yulia bergeming.
Wanita bernama lengkap Hagi Yulia Sugeha, yang juga peneliti di Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, melanjutkan, "Sensei saya penasaran sekali ingin bisa melihatnya." Yulia menerangkan, sidat (Anguilla spp.) tidak sebatas lezat disantap. "Siklus hidupnya juga sangat unik," katanya. Yulia menjelaskan, sidat hidup di dua alam: ia berpijah di laut, lalu bayi- bayi sidat akan mencari air tawar untuk melanjutkan hidupnya sebelum belasan tahun kemudian--ketika sudah dewasa--kembali lagi ke laut.
Siklus hidup itu mirip salmon, yang berpijah di perairan tawar dan tumbuh dewasa di laut. Bedanya, kata Yulia, "Kita sudah mengenal dan mengeksploitasi salmon, sedangkan sidat? No body knows." Nah, rupanya, di sinilah yang terpenting yang membuat Yulia ikut penasaran sama seperti sensei-nya--Katsumi Tsukamoto, profesor di Institut Penelitian Laut Universitas Tokyo. Apalagi belakangan Yulia mengetahui bahwa tujuh dari 18 spesies ikan itu yang pernah dilaporkan endemik perairan tropis.
Yulia jadi sangat tertarik untuk memetakan lokasi-lokasi pemijahan itu khusus untuk perairan tropis di Indonesia. Dia pun sempat berlayar tiga tahun, tapi tidak tuntas karena faktor biaya. Yulia memutuskan sedikit banting setir. Dia memilih pertanyaan yang lebih spesifik dengan kebutuhan dana yang lebih kecil: apakah proses masuknya bayi-bayi sidat itu ke perairan tawar (recruitment) yang terjadi di setiap perairan di Indonesia sama. Hasil penelitiannya yang sudah berjalan tiga tahun dan masih setengah matang—karena dijadwalkan baru selesai tahun depan--itulah yang dipaparkannya kepada wartawan dari berbagai media di kantor LIPI.
Tepat sepuluh tahun lalu, Yulia, yang saat ini berusia 33 tahun, berkenalan dengan sidat. Saat itu Yulia masih asisten dosen di kampusnya, Universitas Sam Ratulangi, Manado. Tsukamoto datang untuk meneliti sidat di Sulawesi Utara. "Kebetulan lokasinya itu adalah daerah kelahiran saya di Kabupaten Bolaang Mongondow, yakni di muara Sungai Koidar. Saya ditugasi menemani beliau dan timnya," dia mengenang.
Berawal dari ditanya-tanyai, Yulia akhirnya ditawari terlibat langsung dalam penelitian jenis ikan yang sering disangka ular atau belut itu. Pucuk di cinta, belakangan Yulia malah bisa mengambil master dan doktor lewat proyek itu. Sejak perkenalannya itu, Yulia rajin mengikuti sidat. Dia menangkap di alam dan mengikuti siklus hidupnya. "Kalau larvanya ada di laut, ya nangkap di laut. Juvenile-nya di muara, saya pergi dan nangkap di sana. Yellow eel-nya (sidat muda) ada di sungai, danau, dan rawa, saya pergi ke sana," urainya panjang lebar.
Sekali sesar, metode transeknya mampu menjala hingga ribuan ekor. Dari jumlah itu, dia mengoleksi seratusan saja. Sisanya dilepas kembali. Langkah selanjutnya adalah identifikasi dan konfirmasi spesies. Pendekatan penghitungan tulang dengan teknik pewarnaan diperbantukan untuk upaya itu. Lepas dari pengamatan morfologi, Yulia juga melangkah lebih jauh kepada uji genetik lewat pemotongan fragmen-fragmen DNA. Dari situ saja, sebenarnya dia sudah bisa menelusuri perbedaan spesies. Tapi, ternyata, banyak didapatkannya potongan-potongan baru berisi kode yang belum pernah dilaporkan. "Ini berpeluang spesies baru," katanya.
Kode-kode itu sebenarnya bisa dipastikannya lewat uji lanjutan, sequencing. Setengah bersedih, Yulia harus menerima kenyataan bahwa uji itu belum bisa dilakukannya karena lebih mahal ketimbang sebatas pemotongan fragmen DNA. Meski begitu, Yulia mengatakan sudah banyak hasil penelitiannya yang bisa disimpulkan tentang sidat Indonesia. Banyak pula publikasi yang sudah dibuat dan dimuat dalam jurnal ilmiah internasional. "Sayang, di Indonesia tidak banyak yang tertarik," katanya.
Bukan tanpa alasan Yulia mengeluh. Harga makanan olahannya yang mahal (seporsi kabayaki--makanan olahan dari sidat di Jepang—hampir Rp 400 ribu) mendorong terus berlangsungnya eksploitasi besar-besaran sidat di luar perairan tropis. Padahal, katanya lagi, negara sekaliber Jepang belum berhasil mengembangkan teknik pembiakannya. Di laboratorium, larva sidat hanya bertahan tiga hari, lalu mati. "Otomatis stok benih sidat di alam akan terancam, dan mereka mereka mulai mencarinya ke perairan tropis," kata Yulia. Dan kita di sini (tropis) bisa tidak menyadarinya sama sekali.
By. Sidat Kita
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar