Melihat Pasar Ikan Di Jepang

Bookmark and Share
Sidat Kita

Sidat Kita
Pasar ikan yang ideal, bagus, rapi dan bersih tentu menjadi dambaan setiap kota. Tapi untuk kota-kota di indonesia kayanya belum bisa untuk di implementasikan karena faktor budaya kita yang mesti dirubah dalam hal pola pikir tentang pemasaran, hal ini sangat terkait dengan pemerintah daerah setempat yang menaungi tata kota, kita bisa mencontoh di negara Jepang yang boleh dibilang sebagai pelopornya. 

Sejak tahun 1967, negeri ini sudah memiliki Tsukiji Fish Market (TFM), yang berdiri di atas lahan seluas 23 ha dan berada di tengah-tengah Kota Tokyo. Pembangunan pasar ikan higienis ini secara dramatis mengubah citra pasar ikan tradisional, yang acapkali terlihat kumuh, berbau amis, dan becek. Di Indonesia, pasar ikan umumnya merupakan bagian integral dari bangunan pasar umum. Karena ciri amis, becek dan kumuh itulah, los-los ikan ditempatkan di bagian paling pojok. Para pedagang pun seperti terpinggirkan, karena terkucil dari para pedagang lainnya. 

TFM bukanlah satu satunya pasar ikan higienis di Jepang. Hampir setiap kota memiliki pasar serupa. Tetapi tempat inilah yang terbesar, sehingga selalu ramai dikunjungi pedagang serta pembeli perorangan. Sekitar 80 persen kebutuhan ikan bagi penduduk Tokyo disuplai dari sini. Berbagai jenis ikan pun dapat ditemui di TFMi. Mulai dari tuna beku, cakalang, tongkol, udang, sidat, lobster, kerang, hingga telur ikan dan produk ikan siap saji. Semua dijual di ruang terpisah, yang selalu terjaga mutu dan kebersihannya. Jalan utama menuju TFM selalu bersih. 

Setiap pagi, siang, dan sore hari, jalan selalu disemprot dengan air bersih dari mobil tangki air. Bau amis dan busuk pun tak tercium sama sekali. Sistem pengangkutan barang dilakukan dengan forklift dan kendaraan roda tiga, yang hilir-mudik mengangkut kotak-kotak kardus berisi ikan, udang, dan hasil laut lainnya. Mau tahu volume penjualan ikan setiap hari? Sulit dipercaya, tetapi angka 2.300 ton merupakan fakta yang tak bisa diingkari. Ikan-ikan ini berasal dari hasil tangkapan nelayan setempat, ditambah produk impor dari negara lain, termasuk Indonesia.

Transportasi dari nelayan atau importir dikelola oleh sebuah koperasi. Sedangkan pelelangan ikan ditangani oleh tujuh perusahaan. Namun, selebihnya, seluruh pengelolaan pasar ditangani sendiri oleh Pemkot Tokyo, dalam hal ini lembaga semacam Dinas Pasar di negara kita. Hal yang cukup menarik adalah penataan ruang terhadap komoditas tertentu, sehingga pembeli tak pernah bingung ketika akan mencari jenis ikan tertentu.
Selain itu, penyediaan sarana kebersihan, perawatan, dan sarana/ prasarana lainnya juga menjadi tanggung jawab Pemkot Tokyo. 

Sesuai dengan kesepakatan antara pedagang dan pengelola, setiap perusahaan/grosir yang melelang ikan harus membayar sewa tempat sebesar 494 yen/m2 per bulan. Sedangkan untuk toko dikenai ongkos 1.940 yen/m2 per bulan. Dalam setiap pelelangan, Pemkot memperoleh retribusi sebesar 0,25 persen dari harga lelang. 

Kegiatan di tempat ini berlangsung tiap hari, sejak pagi hingga siang hari. Di tempat ini, pembagian kegiatan antara pedagang besar, pedagang menengah, dan grosir diatur sedemikian rupa sehingga ada pembagian wilayah kerja yang transparan. Sistem penyewaan tempat berdagang dan alur kegiatan perdagangan juga diatur dengan bagus, sehingga penempatan lokasi berjualan pun terlihat serasi.

Yang unik, setiap bulan dilakukan rotasi tempat, sehingga tak ada pedagang yang dominan di lokasi strategis. Kita perlu menirup prinsip keadilan ini, karena tempat-tempat strategis seperti ini sering diperjualbelikan, dan uangnya masuk ke kantong pribadi pejabatnya. Komitmen pada perjanjian yang disepakati antarpihak itu menunjukkan mekanisme pelelangan, pelayanan penjualan, sirkulasi bahan/produk, dan lokasi usaha dapat berjalan lancar. Sistem informasi harga ikan dan hasil produksi juga bisa diakses langsung oleh siapa pun melalui perangkat multimedia (televise sirkuit) yang disediakan pengelola TFM. 

Bila kita ingin mencontoh Jepang, jangan ambil enaknya saja, semisal besarnya uang retribusi yang masuk ke kas daerah. Tetapi contohlah pula kewajibankewajiban yang mesti diselenggarakan pemerintah daerah terhadap pembeli dan pedagang di pasar ikan higienis. Tidak kalah pentingnya, sekalian mencontoh budaya antikorupsi dan antipungli, dalam bentuk apa pun.
By. Sidat Kita

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...